Pages

Minggu, 11 Oktober 2015

Belajar, Mencari, Memahami

Tulisan ini dipublikasikan dalam rangka penyelesaian tugas mata kuliah sosiologi-antropologi.

...

Dan saat ini, setelah sekian ribu kilometer perjalanan ini, kesimpulan saya hanya satu. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini telah diatur. Kita, sebagai manusia berhak memilih. Kita, sebagai manusia berhak bermimpi. Tetapi takdir, selalu punya aturannya sendiri. Allah, punya cinta yang lebih besar dibanding rasa kecewa kita. Dan rencanaNya, pasti lebih baik dari apa yang selalu manusia impikan.


Ketika kamu meminta agar kesombongan dalam dirimu Tuhan ambil, maka Tuhan akan berkata tidak. Sebab kesombongan itu buka diambil, tetapi dirimu sendirilah yang harus menyerahkannya. Ketika kamu meminta agar diberi kesabaran, maka Tuhan akan berkata tidak. Karena kesabaran didapat dari ketabahan dalam menghadapi cobaan; dan hal itu tidak diberikan, kau harus meraihnya sendiri.


Ketika kamu meminta agar Tuhan menjauhkanmu dari kesusahan, maka Tuhan akan tetap berkata tidak. Karena penderitaan menjauhkanmu dari jerat duniawi dan mendekatkanmu pada Tuhanmu sendiri.


Hal ini terefleksi dengan cerita pengalaman saya masuk dan mengenyam pendidikan di salah satu perguruan tinggi negeri. 

Cerita berawal saat lulus dari jenjang SMA dengan nilai yang ‘hanya cukup memuaskan’, lalu saya menaruh peruntungan dalam undangan ke perguruan tinggi negeri yang lebih dikenal dengan istilah SNMPTN. Ego dan sifat angkuh manusia yang ada pada diri saya mengantarkan saya untuk hanya memilih 1 pilihan jurusan dengan PTN. Tanpa ada pilihan 2 maupun 3.

PTN yang saya pilih di luar regional saya, yang artinya, presentasi kemungkinan lulus dan diterima itu kecil sekali. Singkat cerita, nyatalah saya tidak diterima di salah satu PTN wilayah Jawa yang dari dulu memang saya idam-idamkan.

Saya belum putus asa. Dengan ego yang sama, saya memilih pilihan yang sama dalam mengikuti Ujian Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri yang lebih dikenal dengan istilah SBMPTN. Singkat cerita, PTN tersebut menolak saya lagi saat itu. Dan saya, belum putus asa. Hanya saja, kecewa luar biasa. Atau istilah yang biasa saya gunakan untuk mendeskripikan situasi ini adalah tiarap harap hampa asa .

Kesempatan saya untuk dapat mengenyam pendidikan di PTN tersebut tahun ini sudah hangus. Saya sudah berpikir untuk mencobanya lagi di tes tahun depan. Namun, orang tua saya khususnya ibu berpesan kepada saya, “Kecewa boleh. Tapi kecewalah sewajarnya. Lalu tetap bersyukur sebanyak-banyaknya.”

Salah satu teman seperjuangan saya pernah berkata, 

“Ketika kamu punya mimpi dan kamu merasa sudah berjuang sampai titik akhir kamu di sana dan berakhir dengan hasil yang tidak sesuai dengan apa yang kamu harapkan, mungkin yang salah bukan usahanya. Tetapi mungkin do’anya. Cara kamu meminta yang salah. Atau mungkin, karena keinginanmu tidak sama dengan keinginan Tuhanmu. Karena kita tidak pernah tahu, apa suatu hal yang kita inginkan itu selalu baik, atau bahkan akan mengantar kita ke arah yang lebih buruk?”

Saya menuruti salah satu saran yang diberikan orang-orang sekitar saya dengan mendaftar PTN melalui jalur tes mandiri yang diselenggarakan oleh Universitas Pendidikan Indonesia dengan jurusan yang memang saya impikan dari dulu, yaitu Psikologi. 

Saya berusaha mengerjakan soal-soal lebih banyak dari apa yang saya usahakan saat tes SBMPTN. Karena basis saya yang IPA, sebelum tes berlangsung saya berusaha memaksimalkan pengetahuan saya di bidang sosial. Rasa takut akan gagal untuk kesekian kalinya membuat saya berjuang dalam mengerjakan seleksi mandiri dengan harapan dapat lolos dan mendapatkan perguruan tinggi negeri tahun ini. 

Alhamdulillah, ternyata takdir Tuhan sejalan dengan keinginan terakhir saya saat itu. Hari itu, 8 Agustus 2015 saya dinyatakan lulus seleksi mandiri dan diterima di Universitas Pendidikan Indonesia.

Waktu itu saya sempat berpikir, apakah mungkin salah satu alasan mengapa saya dapat mengenyam pendidikan di UPI ini karena dalam riwayat keluarga saya, tak hanya ibu, om, tante atau anggota keluarga saya yang lain bahkan nenek saya juga mengenyam pendidikan di UPI? Jaman nenek dan ibu saya dahulu namanya bukanlah UPI, IKIP katanya.

Katanya juga, ketika kita masih bisa merasakan ada di lingkungan yang sama seperti pendahulu-pendahulu kita, artinya kita mampu bertahan. Mampu bertahan untuk ada di lingkungan yang sama dalam rangka mempertahankan budaya yang ada dari dulu kala di keluarga. Ketika saya mulai menjelajahi UPI, saya sadar akan sesuatu. Sekalipun banyak hal yang berubah, namun ada saja spot-spot yang tetap dipertahankan dan dilestarikan. Salah satunya, gedung isola.

Saya ingat bagaimana saat saya kecil nenek saya sering menceritakan mengenai kisah-kisah kehidupannya bersama teman-temannya dengan latar gedung isola. Dan kini, ketika saya beranjak dewasa, saya masih bisa melihat gambaran nyata dari apa yang dahulu sering saya imajinasikan.

Ketika saya mulai mengikuti kegiatan perkuliahan, saya mulai belajar bagaimana memahami berbagai perilaku yang dilakukan oleh tiap-tiap individu dengan menggunakan simbol-simbol yang mereka ciptakan sendiri. 

Dosen-dosen psikologi memang luar biasa kreatif. Saya kagum dengan berbagai cara dan metode yang beliau ciptakan agar mahasiswa baru mampu memahami apa yang beliau katakan dan utarakan.

Kemampuan simbolik yang ada pada mahasiswa khususnya dan manusia pada umumnya seharusnya mampu mengantarkan kita pada suatu inovasi. Inovasi untuk membayangkan yang tidak ada sehingga mencari cara-cara dan metode lalu mengusahakannya untuk ada. Dan hal inovasi ini merupakan tugas yang besar yang diberikan kepada kita sebagai generasi penerus bangsa, yang tidak lain tujuannya adalah untuk memajukan negara kita dan menyejahterakan rakyat Indonesia.

Saya mulai belajar mengenai berbagai tanda-tanda yang kaka tingkat berikan dalam rangka pengenalan lingkungan seputar dunia perkuliahan. Dalam prosesnya, di kelas maupun dalam kegiatan kaderisasi, saya akhirnya mulai mengerti betapa pentingnya perubahan. Saya mulai mengerti mengapa kita perlu untuk memiliki cita-cita dan membayangkan masa depan.

Kemampuan manusia untuk menahan ego memengaruhi sikap dan respon saya pada tiap-tiap pengalaman yang saya alami di dunia perkuliahan ini. Saya mulai berkembang dan belajar memahami bahwa semakin kita masuk ke dalam suatu lingkungan, semakin banyak pula kita menemukan berbagai tipe manusia yang terkadang tidak dapat kita pahami secara terperinci. 

Menjadi manusia yang utuh mengajarkan saya berpikir untuk menjadi bahagia. Bahwa sebenarnya, kebahagiaan itu bukan dicari. Kebahagiaan itu kita rasakan sendiri.

Happiness will forever be a mindset. Not a person, place, or thing.

Masuk dan berkecimpung di sini, di Departemen Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia membuat saya paham bahwa kita perlu menjadi individu yang tidak pernah berhenti untuk belajar.

Belajar bahwa kita perlu bersyukur meski kurang.

Belajar ikhlas meski terasa berat.

Belajar taat meski kadang tak ingin.

Belajar memahami meski tak sehati.

Belajar bersabar meski terbebani.

Belajar menghargai walau tidak dihargai.

Belajar tulus meski tersakiti.

Belajar jujur meski tidak dipercaya.

Belajar mendengarkan meski terkadang tak didengar.

Belajar merawat meski sakit.

Belajar membahagiakan walau terkadang sedih.

Belajar tersenyum meski kadang tak sanggup.

Belajar memaafkan meski marah.

Karena dasarnya, belajar adalah suatu pilihan terbaik.

Belajar membuat kita menjadi selangkah lebih dekat dengan sesuatu yang sering kali kita cari: rasa damai. Belajar membuat kita paham betapa pentingnya sikap toleransi. Kita tau pasti, ketika kita ingin diperlakukan baik, maka perlakukanlah hal lain dengan lebih baik. Manusia perlu belajar, menurunkan ego, lalu berkembang agar dapat fit dalam dunianya.

Dunia perkuliahan membuka pikiran saya bahwa pada faktanya: berkumpul dengan orang lain dan berorganisasi bukanlah hal yang wajib, tapi merupakan sesuatu yang kita perlukan. Karena pada dasarnya, kita memang butuh. Kita selaku manusia, membutuhkan kemampuan itu. Kemampuan untuk berkumpul, berserikat, berinteraksi, lalu berorganisasi. Karena ketika kita tidak mempunyai kemampuan itu, kita akan kesulitan sendiri untuk berbudaya dan bertahan hidup.

Goenawan Mohamad pernah berkata dalam salah satu karyanya, “Definisi kesepian yang sebenarnya adalah hidup tanpa tanggung jawab sosial.” Dan saya sepaham dengan kalimat tersebut. Ketika kita menghindar dan sering kali menjauh dari mayarakat, otomatis kita akan merasa kesepian, sekaligus kesusahan.

Apa yang saya tulis, merupakan penjelasan singkat mengenai pengalaman saya masuk Psikologi UPI selama sekitar 2 bulan ini. Saya mencoba menguraikannya dalam empat sudut pandang sesuai dengan penjelasan yang dosen saya berikan. Semoga ketika membaca tulisan ini sampai akhir, pembaca tidak merasa kecewa.

Pesan saya, jangan hanya bisa bilang hidup itu pilihan, tetapi kau juga harus tahu apa pilihan hidupmu.

Terima kasih. Semoga bermanfaat.


1 komentar: