Tugas
Sosiologi-Antropologi saya kali ini bisa dibilang menarik. Mengapa menarik? Karena setelah beberapa pertemuan dan kelas saya
dihadapkan dengan berbagai tugas yang beragam, kali ini dosen saya memberikan
kesempatan untuk menyelesaikan tugas di pekan UTS. Sebelum menyelesaikannya,
kita diberi kesempatan untuk menonton sebuah pertunjukan monolog yang berjudul “ANAK
KABUT”
Katanya, menulis
merupakan salah satu bentuk kita dalam merapihkan sebuah kenangan. So here I am, trying to fix all the ideas of
mine and trying to finish this kind of task. Semoga apa yang saya tulis,
dapat bermanfaat walau hanya sedikit.
Secara singkat, Anak
Kabut mengisahkan tentang seorang wanita yang merindukan sang kekasih, yang
telah tiada. Keriundan membawanya kepada suatu hal yang biasa kita sebut dengan
‘nostalgia’. Dan nostalgia selalu dikaitkan dengan kejadian masa lalu yang
pernah dialami seseorang.
Ingatan tersebut selalu
datang membayang di setiap malam yang ia lewati. Ingatan yang selalu
mengantarkannya pada ketakutan yang berhasil membuatnya meracau dan mengigau di
setiap malam seperti orang gila yang kesetanan.
Singkatnya, dalam
monolog ini dijelaskan mengenai bagaimana seorang wanita dengan susah payah
bertahan dan survive menjalani hidup sementara ia sangat merindukan sosok sang
kekasih sehingga ia seringkali merealisasikannya lewat puisi yang selalu
berhasil membawanya pada ingatan gairah yang selama ini terpendam.
Gairah yang sudah
sangat lama tenggelam dari dalam dadanya. Dan di setiap malam itu, ia kembali teringat
dengan tragedi pemerkosaan yang menimpa dirinya. Pemerkosa yang berhasil
membuat dirinya terasa hancur seperti sekarang. Pemerkosa yang tak
bertanggungjawab. Pemerkosa, yang selama ini ia anggap sebagai pihak penguasa
yang tak tahu diri.
Dalam perjalanannya, ia
juga selalu mempertanyakan mengenai tragedi saat reformasi berlangsung yang
membuat sang kekasih meninggal dunia dengan alasan tertembak atau
terbakar,katanya. Dan semua hal itu hanya ramai diperbincangkan di koran
sedangkan pelakunya masih bisa bebas berkeliaran di luar sana.
Ia juga mempersoalkan mengenai
permasalahan dalam negeri bahwa para koruptor bisa mengajukan diri sebagai wali
kota, bupati, gubernur bahkan presiden tanpa ada perbincangan lebih lanjut yang
jelas.
Menurut saya, apa yang
coba disampaikan dalam monolog ini salah satunya adalah mengenai kritik sosial
terhadap negeri kita, Indonesia.
Dilihat dalam aspek
teosentrisme, monolog ini menampilkan sisi dimana sebenarnya, manusia merupakan
hasil ciptaan Tuhan sepenuhnya sehingga manusia tersebut dipengaruhi oleh Tuhan
dan ketakutan dalam dirinya.
Dalam monolog ini juga
diceritakan bahwa sang wanita tetap saja mempertanyakan segala hal yang telah
terjadi terhadapnya di masa lampau kepada Tuhan dan
mencoba meminta penjelasan dan jalan keluar.
mencoba meminta penjelasan dan jalan keluar.
Di sisi lain, dengan
menonton monolog ini,kita dapat memahami bahwa manusia tidaklah sepenuhnya
bebas. Karena ia terikat dengan berbagai keburukan yang akan harus ia bayar
nanti kepada Tuhan suatu hari di hari pembalasan.
Jika kita mencoba
mengkaji dari sudut pandang biologisme, kita dapat memahami bahwa dalam monolog
ini, manusia sebenarnya diberi kesempatan untuk belajar dalam waktu yang
relatif lama. Belajar disini berarti memahami segala sesuatunya secara detail,
yang baik dan yang buruk.
Penulis naskah dalam
monolog mencoba memberikan pesan kepada penonton lewat kisah sang wanita. Wanita ini
mengalami kisah masa lalu yang tragis dan ia mencoba bertahan menjalani hidup
dengan memahami kebaikan dan keburukan terebut. Dengan hal seperti itu, manusia
mampu mengusahakan dan melakukan hal-hal baru.
Pemahaman ini yang
menjadikan sang wanita bermain di nostalgia masa lalu dan kenyataan masa kini
yang mengantarkan dia dalam bermain ruang dan waktu. Hal ini tentu sangat
terefleksi dengan salah satu aspek dalm sebuah sudut pandang.
Dalam kajian
antroposentrime, kita dapat memahami bahwa dalam monolog anak kabut, manusia merupakan penentu dari tindakan-tindakan yang ia lakukan dan manusia
bertanggungjawab atas dirinya. Hal inilah yang direfleksikan oleh sutradara ke
dalam lakon yang diperankan sang wanita dalam monolog anak kabut ini.
Kajian sudut pandang
terakhir, bahwa dalm sosiologisme pun kita dapat mengambil nilai-nilai yang ada
dalam monolog anak kabut ini. Bahwa sebenarnya manusia pada dasarnya adalah
produk hidup bermasyarakat. Jadi masyarakat dan lingkungan yang pada akhirnya
akan membentuk sebuah individu. Seperti yang dapat kita pahami dalam kisah anak
kabut monolog ini.
Apa yang terjadi pada
sang wanita sekarang, merupakan hasil dari apa yang dahulu ia pernah rasakan
dan ia lalui dalam kehidupan bermasyarakat.
...
Hal lain yang dapat kita pahami dalam monolog ini juga adalah
mengenai tatto yang dari jaman ke jaman memiliki perbedaan fungsi. Lalu,
kenyataan mengenai bahwa wanita merupakan makhluk yang takut terlihat tua,
sehingga ia dapat melakukan apapun untuk membuat dirinya terlihat lebih cantik
dan muda.
Terlepas dari aspek sedikit
‘vulgar’ yang dapat kita pahami ketika menonton monolog ini, menurut saya
monolog Anak Kabut ini merupakan bentuk dari hasil ide brilian manusia yang
dikemas dalam sebuah tampilan yang elegan. Dan hal yang perlu kita garis bawahi
adalah, bahwa masa lalu itu tidak
akan pernah hilang, selanjutnya kita punya 2 pilihan. Untuk terus
terjebak dalam masa itu, atau memilih berpindah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar