Pages

Jumat, 06 November 2015

"Kita Terlahir Sebagai Dongeng" -Wanita dalam monolog.



Tugas Sosiologi-Antropologi saya kali ini bisa dibilang menarik. Mengapa menarik? Karena setelah beberapa pertemuan dan kelas saya dihadapkan dengan berbagai tugas yang beragam, kali ini dosen saya memberikan kesempatan untuk menyelesaikan tugas di pekan UTS. Sebelum menyelesaikannya, kita diberi kesempatan untuk menonton sebuah pertunjukan monolog yang berjudul “ANAK KABUT”

Katanya, menulis merupakan salah satu bentuk kita dalam merapihkan sebuah kenangan. So here I am, trying to fix all the ideas of mine and trying to finish this kind of task. Semoga apa yang saya tulis, dapat bermanfaat walau hanya sedikit.

Secara singkat, Anak Kabut mengisahkan tentang seorang wanita yang merindukan sang kekasih, yang telah tiada. Keriundan membawanya kepada suatu hal yang biasa kita sebut dengan ‘nostalgia’. Dan nostalgia selalu dikaitkan dengan kejadian masa lalu yang pernah dialami seseorang.

Ingatan tersebut selalu datang membayang di setiap malam yang ia lewati. Ingatan yang selalu mengantarkannya pada ketakutan yang berhasil membuatnya meracau dan mengigau di setiap malam seperti orang gila yang kesetanan. 

Singkatnya, dalam monolog ini dijelaskan mengenai bagaimana seorang wanita dengan susah payah bertahan dan survive menjalani hidup sementara ia sangat merindukan sosok sang kekasih sehingga ia seringkali merealisasikannya lewat puisi yang selalu berhasil membawanya pada ingatan gairah yang selama ini terpendam. 

Gairah yang sudah sangat lama tenggelam dari dalam dadanya. Dan di setiap malam itu, ia kembali teringat dengan tragedi pemerkosaan yang menimpa dirinya. Pemerkosa yang berhasil membuat dirinya terasa hancur seperti sekarang. Pemerkosa yang tak bertanggungjawab. Pemerkosa, yang selama ini ia anggap sebagai pihak penguasa yang tak tahu diri. 

Dalam perjalanannya, ia juga selalu mempertanyakan mengenai tragedi saat reformasi berlangsung yang membuat sang kekasih meninggal dunia dengan alasan tertembak atau terbakar,katanya. Dan semua hal itu hanya ramai diperbincangkan di koran sedangkan pelakunya masih bisa bebas berkeliaran di luar sana.

Ia juga mempersoalkan mengenai permasalahan dalam negeri bahwa para koruptor bisa mengajukan diri sebagai wali kota, bupati, gubernur bahkan presiden tanpa ada perbincangan lebih lanjut yang jelas.

Menurut saya, apa yang coba disampaikan dalam monolog ini salah satunya adalah mengenai kritik sosial terhadap negeri kita, Indonesia.

Dilihat dalam aspek teosentrisme, monolog ini menampilkan sisi dimana sebenarnya, manusia merupakan hasil ciptaan Tuhan sepenuhnya sehingga manusia tersebut dipengaruhi oleh Tuhan dan ketakutan dalam dirinya. 

Dalam monolog ini juga diceritakan bahwa sang wanita tetap saja mempertanyakan segala hal yang telah terjadi terhadapnya di masa lampau kepada Tuhan dan 
mencoba meminta penjelasan dan jalan keluar.

Di sisi lain, dengan menonton monolog ini,kita dapat memahami bahwa manusia tidaklah sepenuhnya bebas. Karena ia terikat dengan berbagai keburukan yang akan harus ia bayar nanti kepada Tuhan suatu hari di hari pembalasan.

Jika kita mencoba mengkaji dari sudut pandang biologisme, kita dapat memahami bahwa dalam monolog ini, manusia sebenarnya diberi kesempatan untuk belajar dalam waktu yang relatif lama. Belajar disini berarti memahami segala sesuatunya secara detail, yang baik dan yang buruk. 

Penulis naskah dalam monolog mencoba memberikan pesan kepada penonton lewat kisah sang wanita. Wanita ini mengalami kisah masa lalu yang tragis dan ia mencoba bertahan menjalani hidup dengan memahami kebaikan dan keburukan terebut. Dengan hal seperti itu, manusia mampu mengusahakan dan melakukan hal-hal baru. 

Pemahaman ini yang menjadikan sang wanita bermain di nostalgia masa lalu dan kenyataan masa kini yang mengantarkan dia dalam bermain ruang dan waktu. Hal ini tentu sangat terefleksi dengan salah satu aspek dalm sebuah sudut pandang.

Dalam kajian antroposentrime, kita dapat memahami bahwa dalam monolog anak kabut, manusia merupakan penentu dari tindakan-tindakan yang ia lakukan dan manusia bertanggungjawab atas dirinya. Hal inilah yang direfleksikan oleh sutradara ke dalam lakon yang diperankan sang wanita dalam monolog anak kabut ini.

Kajian sudut pandang terakhir, bahwa dalm sosiologisme pun kita dapat mengambil nilai-nilai yang ada dalam monolog anak kabut ini. Bahwa sebenarnya manusia pada dasarnya adalah produk hidup bermasyarakat. Jadi masyarakat dan lingkungan yang pada akhirnya akan membentuk sebuah individu. Seperti yang dapat kita pahami dalam kisah anak kabut monolog ini. 

Apa yang terjadi pada sang wanita sekarang, merupakan hasil dari apa yang dahulu ia pernah rasakan dan ia lalui dalam kehidupan bermasyarakat.

...



Hal lain yang dapat kita pahami dalam monolog ini juga adalah mengenai tatto yang dari jaman ke jaman memiliki perbedaan fungsi. Lalu, kenyataan mengenai bahwa wanita merupakan makhluk yang takut terlihat tua, sehingga ia dapat melakukan apapun untuk membuat dirinya terlihat lebih cantik dan muda.

Terlepas dari aspek sedikit ‘vulgar’ yang dapat kita pahami ketika menonton monolog ini, menurut saya monolog Anak Kabut ini merupakan bentuk dari hasil ide brilian manusia yang dikemas dalam sebuah tampilan yang elegan. Dan hal yang perlu kita garis bawahi adalah, bahwa masa lalu itu tidak akan pernah hilang, selanjutnya kita punya 2 pilihan. Untuk terus terjebak dalam masa itu, atau memilih berpindah?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar